Jumat, 01 Mei 2009

Apakah wajib menggunakan Niqab (cadar)

Niqab adalah apa yang dijadikan penutup muka oleh wanita. Dikatakan intaqobat al-mar'atu watanaqqabat dalam arti seorang wanita menutup wajahnya dengan niqab. Perbedaan antara hijab dengan dan niqab, bahwa hijab adalah penutup umum (menyeluruh), sedangkan niqab adalah dikhususkan sebagai penutup bagian wajah wanita saja. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tubuh perempuan itu seluruhnya aurat bagi laki-laki asing (bukan muhrim) kecuali muka dan kedua telapak tangan, karena wanita perlu berinteraksi dengan kaum laki-laki serta saling memberi dan menerima.

Terdapat pendapat dari Abu Hanifah bahwa dia menyatakan boleh menampakkan kedua kakinya(Qadam adalah bagian kaki hingga mata kaki dan ke atasnya sedikit), karena Allah SWT melarang terhadap menampakkan perhiasan dan mengcualikan apa yang tampak darinya. Dan kedua kaki itu anggota yang tampak. Sementara pendapat Ahmad Bin Hambal secara dzohir dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu dari wanita adalah aurat bagi orang asing (bukan mahram), hingga kukunya. Diriwayatkan dari imam Ahmad bahwa dia berkata, “ Sesunggguhnya barang siapa yang status istrinya talak bain, tidak boleh ia makan bersamanya, karena dengan makan bersama dia melihat telapak tangannya” Al-Qadhi dari ulama madzhab Hambali berkata : “Diharamkan laki-laki asing memandang kepada wanita asing selain wajah dan kedua telapak.”

Jumhur ulama berpegang kepada dalil dari Al Quran dan sunnah antara lain :
“ Dan janganlah mereka menampakkna perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya”
(Q.S. An- Nur (24) : 31).
Yakni tempat-tempatnya. Maka, celak adalah perhiasan wajah dan cincin adalah perhiasan telapak.

Ibnu Katsir menyebutkan ayat ini dan mengomentarinya dengan berkata : “ Al-A'masy berkata dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas , Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) dari padanya” (Q.S. An- Nur (24) : 31), dia berkata: “ Yakni : wajahnya, dua telapak tangan,d a cincin”. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Abu Sya'tsa, Dhahak, Ibrahim An-Nukha'i , dan lain-lain pendapat yang seumpama itu juga.
Dari sunah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah Saw dan dia mengenakan pakaian yang tipis. Maka Rosulullah Saw pun berpaling darinya dan berkata :
“ Wahai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai masa haidl tidak layak terlihat darinya kecuali ini dan ini.” Dan beliau Saw mengisyaratkan kepada wajah dan dua telapaknya.

Sementara dari kelompok ulama madzhab Maliki : Staikh Ibnu Khalaf Al Baji berkata,” Seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Pada pembahasan lain dia berkata: “ Kadang-kadang wanita makan bersama suaminya dan orang-orang yang makan bersamanya atau bersama saudaranya seumpamanya, menurut suatu makna bahwa pandangan laki-lak- kepada wajah perempuan dan dua telapak kakinya itu boleh, karena hal itu tampak darinya ketika makan bersamanya.

Ibnu Hajar Al-Haitami [ Tuhfat Al-Muhtaj Syarah Al-Minhaj] mengutip pendapat Qadhi 'Iyadh bahwa perempuan tidak wajib menutup wajahnya, secara ijma' (konsensus ulama). Dia berkata : “ Pengarang (Imam Nawawi) mengutip dari Qadhi Iyadh adanya konsensus bahwa tidak wajib bagi wanita menutup wajahnya. Akan tetapi, sunnah. Dan atas laki-laki untuk memelihara pandangan dari mereka. Demikian yang diperintahkan oleh ayat Al-Qur'an.

Hal yang dapat kita cermati adalah bahwa persoalan pakaian sangat berkaitan erat dengan tradisi masing-masing kaum berkenaan dengan realitas sosial di dalamnya. Misal saja Mesir, yang lebih sesuai baginya adalah mengikuti jumhur ulama, begitupun juga di negara kita ini. Alasannya karena masalah perempuan menutup wajahnnya adalah perkara yang terasa asing dalam masyarakat kontemporer kita dan menyebabkan terjadinya pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat khususnya di dalam umat islam sendiri.

Adapun masyarakat lain, yang sesuai dengan madzhab Hambali maka tidak mengapa jika kaum wanitanya konsisten mengikuti madzhab ini karena ia merupakan tradisi yang telah sejiwa dengan masyarakatnya. Memang berlaku tradisi dan kebiasaan pada mereka bahwa wanita menutup wajahnya.

Rajih pendapat jumhur ulama membolehkan membuka wajah dan dua telapak tangan dan menutup anggota selain itu. Adanya alasan bahwa penutupan wajah wanita apabila menjadi simbol atas perpecahan diantara umat atau syiar bagi peringkat ibadah dan keberagaman, maka ia dikatakan keluar dari hukum sunnah (ada yang mengatakan bisa menjadi perkara yang bersifat bid'ah, jika perpecahan benar-benar terjadi pada kondisi itu). Wallohu 'alam bish-showab.