Rabu, 22 April 2009

Hakekat Belajar Mengajar

Sesungguhnya Peradaban manusia itu terjadi dengan ditandai adanya keterkaitan dan ketersinggungan satu sama lain, sehingga masing-masing meniscayakan perlunya membentuk sebuah komunitas sosial. Dalam ranah ini kemudian mereka terpanggil untuk dapat mengembangakan diri dan potensinya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer dan sekundernya. Maka terjadilah proses transformasi kepentingan.
Kenyataan membuktikan, bahwa semua itu tidak dapat meninggalkan dan menafikan begitu saja modal dasar pengetahuan dan pengalaman. Meski disadari bahwa potensi itu sesungguhnya telah dimiliki dan terbawa secara alami. Maka diniscayakanlah perlunya mengadopsi dan memanfaatkan potensi itu dalam bentuk membaca dan membaca. Dan serasa pas kiranya, ketika wahyu pertama kali diturunkan adalah perintah membaca. Sebab dari sini akan tumbuh kesadaran untuk memanusiakan dirinya dan menuhankan Allah penciptanya. Maka tak ayal kalau kemudian tergerak olehnya untuk senantiasa memfungsikan akal pikiran yang telah dikaruniakan kepadanya dengan jalan menganalisa ayat-ayat-Nya yang tertulis dan gejala alam yang terbaca (macro cosmos).


Namun sejauh mana ia telah mengoptimalkan? Di sinilah perlunya mengembangkan diri secara interaktif atau dialektis agar proses pemberdayaan diri (akal) menemukan kesejatianya. Dan dari sini pula lahir pemikiran dan konsep pendidikan yang menempatkan anak didik tidak saja menjadi obyek pendidikan, melainkan juga memandangnya sebagai subyek didik, karena hakekat kependidikan adalah studi tentang proses yang bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal.

Selanjutnya dalam penerapannya diharapkan masing-masing menumbuhkan kesadarannya untuk senantiasa memotivasi diri dengan berdasarkan pendekatan motivasi yang terdiri dari tiga aspek. Yaitu, motivasi theo genetic (dorongan yang berdasarkan pada nilai-nilai agama) motivasi sosio genetic, yakni dorongan yang berdasarkan nilai-nilai sosial, dan motivasi bio genetic yaitu dorongan yang bersifat jasmaniyah. Diyakini manakala ketiga aspek motivasi itu berjalan secara simultan (bersama) akan menjadi pendorong dan daya pacu hidup yang dahsyat sehingga tidak akan ada hidup tanpa cipta dan karsa. Bukankah Al-Hayatu Ma bihi al Hissu wa al Harokah?

Kembali tentang fitrah insaniah, sesungguhnya dalam struktur jasmaniah dan ruhaniah manusia telah dicukupkan dengan memiliki kecenderungan berkembang (potensialitas/disposisi) yaitu kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang. Namun semua itu akan sia-sia adanya manakala tidak ada pendayagunaan yang tepat, aktif dan terencana. Sebab di sisi lain manusia juga memiliki relativitas penuh, seperti diisyarahkan, “Kemudian Allah melengkainya dengan perangkat taqwa dan fujur.” (QS. al-Lail). Tidak berlebihan jika Islam sebagai agama samawi hadir dengan memberikan petunjuk dan dorongan ke arah pencapaian hakikat dan makna hidup yang benar melalui proses penalaran dan pemaknaan terhadap segala yang dialami dan menimpa manusia hidup. Al islamu yakhuddu ‘alal musyahadati wat tafkiri wat taamuli lilwusuli ilal imanis shohih. (Islam mendorong aktif, meneliti, menganalisa dan merenung kearah Iman yang benar.) (Prof. Dr. M. Fadhil Al Jamali, Nahwa Tarbiyatin Mukminatin, hal.27).

Sudah seharusnya masing-masing individu yang merupakan bagian dari suatu sistem kehidupan untuk memulai sedari sekarang dari lingkup internalnya masing-masing untuk selanjutnya mewarnai lingkungan sekitarnya. Dan cara yang terbaik adalah dengan menempatkan masing-masing individu sebagai bagian dari suatu permasalahan yang sedang berlangsung, sambil diharapkan melakukan upaya-upaya yang bersifat kreatif dan inovatif. Sebab masing-masing pasti akan menghadapi problemnya sendiri-sendiri yang tentunya tidak sama dengan yang dihadapi saat ini. Allimu auladakum ghoiro ma ullimtum fainnahum khuliku lizamanin ghoiro zamanikum. (Persiapkanlah generasi muda dengan hal-hal yang prospektif dan relevan dengan masa depanya nanti). (maqolah Sayyidina Ali bin Abu Tholib).

Islam sebagai agama universal tidak mengenal dikotomi-dikotomi keilmuan. Dalam pandangannya tidak dibedakan antara yang semata-mata agama (relegius instruction) maupun ilmu-ilmu eksak lainya (sains technology), selama ilmu itu diarahkan untuk Khosy-yah kepada Allah. Nyatanya, pemikir besar Islam tempo dulu (abad 8 sampai 14) seperti Al Ghozali, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Kholdun, Ar Rozi dan lain-lain tercatat pernah mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan tak kurang dari 60 jenis sains dasar, sebelum akhirnya ilmu-ilmu itu berganti pemilik dan diklaim sebagai produk barat.

Jujur harus dikatakan bahwa proses pembelajaran dan pembentukan diri akan menghasilkan suatu manfaat yang besar yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya. Terlebih Tuhan telah memberikan kemampuan rasional yang dahsyat (intlektual) kepada makhluk manusia ini. Namun mesti disadari -sekali lagi- hal itu baru akan berfungsi aktual jika dikembangkan melalui proses belajar-mengajar yang proporsional dengan bimbingan wahyu Tuhan (ruhaniyah relegius). Sebab rasio manusia bukan nomor satu dalam proses tersebut melainkan nomor dua setelah petunjuk Tuhan (Dia yang mengajar manusia hal yang tidak diketahui sebelumnya. QS. Al Alaq). Di sisi lain juga harus meniscayakan cara-cara pembelajaran yang penuh kelemah-lembutan, kasih sayang, kedekatan dan sikap-sikap yang simpatik, karena faktor sosio-geografis juga berperan menentukan. Perhatikan nasehat Nabi: Yassiru Wa la Tuassyiru Bassyiru Wa la Tunaffiru (Permudahlah dan jangan mempersulit. serta gembirakan mereka dan jangan dibuat lari. Juga sabdanya: Inna Allaha yuhibbu al- Rifqo fi al-amri kullihi wa innama yarhamu Allahu min ibadihi al ruhama’a. (Allah menyukai kelemah-lembutan dan kasih saying terhadap hal yang terencana dan sistematis dalam setiap masalah dan rahamat Allah bersama mereka. HR. Bukhori).

Namun apalah arti sebuah keunggulan keilmuan jika hanya berhenti pada tataran formalitas dan kebanggaan tanpa makna aplikatif yang factual. Bukankah, Inama yutlabu al-ilmu li yu’mala bihi/ ilmu dicari untuk dimengerti dan dihayati. Ibarat menanam ia tidak pernah memetik dan ibarat menabur ia tidak pernah menuai. Demikianlah jika sebuah ilmu tesia-sia. Diingatkan, Ta’allamu ma syi’tum in ta’allamu fa lan yu’jirokum Allahu hatta ta’malu/ belajar dan terus belajarlah namun juga harus berorientasi amaliah. Jika demikian pantas berharap derajat tertinggi disisi-Nya.